Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 4

Reza pulang larut malam, seperti yang sudah-sudah. Aku mendengar suara langkahnya memasuki rumah, terdengar berat dan perlahan. Aku duduk di ruang tamu, menunggunya dalam diam. Gelas teh di tanganku sudah dingin, tetapi aku terlalu sibuk memikirkan apa yang akan kulakukan untuk peduli.

“Nadira, kamu belum tidur?” tanyanya begitu melihatku.

Aku menatapnya tanpa senyum. Dalam hati, aku mencoba menahan amarah yang terus membuncah. “Aku menunggumu,” jawabku singkat.

Dia melepas dasi dan duduk di sofa seberangku. Aku bisa mencium aroma parfum asing di bajunya, aroma yang sama yang pernah kutemukan di kemeja kerjanya. Parfum itu seolah menjadi saksi bisu dari apa yang telah ia lakukan di belakangku.

Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 4


“Kamu sering pulang terlambat akhir-akhir ini,” kataku dengan nada datar, tetapi mataku menatap tajam ke arahnya.

Dia menghela napas, tampak lelah. “Aku sudah bilang, kerjaan kantor lagi banyak. Kamu tahu sendiri kan, aku lagi ngejar target.”

Aku tertawa kecil, suara yang bahkan terasa asing di telingaku sendiri. “Kerjaan, ya? Apa itu juga alasan kamu pergi ke hotel malam ini?”

Kalimat itu seperti bom yang meledak di ruangan. Dia membeku, wajahnya berubah. Dia tidak langsung menjawab, dan di saat itu aku tahu aku benar.

“Nadira… aku bisa jelasin,” katanya akhirnya, suaranya bergetar.

Aku meletakkan gelas teh di meja dan bersandar, mencoba menjaga suaraku tetap tenang. “Jelaskan. Aku mendengarkan.”

Dia menggenggam kedua tangannya, seperti orang yang sedang berusaha mencari kata-kata. “Alya… dia cuma teman kerja. Kami memang dekat karena kami sering satu proyek. Tapi nggak ada apa-apa antara aku dan dia. Kamu salah paham.”

“Salah paham?” tanyaku, suaraku meninggi. “Aku melihat kalian berdua di kafe. Aku melihat kalian masuk ke hotel bersama. Itu bukan salah paham, Reza. Itu bukti.”

Dia terdiam. Aku bisa melihat ketakutan di matanya, tetapi juga rasa bersalah yang ia coba sembunyikan. Aku tidak tahu apakah dia lebih takut kehilangan aku, atau takut kedoknya terbongkar.

“Aku nggak pernah berniat menyakitimu,” katanya pelan. “Aku cuma… aku terlalu jauh melangkah. Tapi aku nggak pernah cinta sama dia. Itu cuma… kesalahan.”

“Kamu bilang itu cuma kesalahan?” Aku tertawa getir. “Kesalahan yang kamu lakukan berulang kali? Kesalahan yang kamu sembunyikan dariku selama ini? Reza, aku ini istrimu. Aku percaya sama kamu. Tapi kamu menghancurkan semua itu.”

Dia berdiri, mendekatiku, mencoba menyentuh tanganku. “Nadira, aku sayang sama kamu. Aku nyesel. Aku akan perbaiki semuanya.”

Aku menepis tangannya. Air mataku mulai mengalir, meskipun aku berusaha keras untuk menahannya. “Sayang? Kamu bahkan tidak menghormati aku sebagai istrimu. Apa menurutmu cinta itu cukup? Kamu mengkhianati aku, Reza. Kamu menghancurkan rumah tangga kita.”

Dia terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dan di saat itu, aku merasa dunia di sekitarku runtuh. Pria yang selama ini kucintai, yang kuanggap sebagai pelindungku, ternyata adalah orang yang paling melukai aku.

Malam itu, aku tidak tidur di kamar. Aku memilih tidur di ruang tamu, menjauh darinya. Aku mendengar langkahnya mondar-mandir di kamar, mungkin mencoba mencari cara untuk memperbaiki apa yang sudah ia hancurkan. Tapi aku sudah lelah. Lelah dengan kebohongan, lelah dengan semua alasan.

Di keheningan malam, aku merenung. Apakah aku bisa memaafkannya? Apakah aku bisa melupakan apa yang sudah dia lakukan? Bagian dari diriku ingin berjuang, mempertahankan apa yang kami miliki. Tapi bagian lain ingin pergi, meninggalkan semua ini dan memulai kembali.

Pagi harinya, Reza mencoba berbicara denganku lagi. Dia bersumpah akan memperbaiki semuanya, bahwa dia akan meninggalkan Alya, bahwa dia hanya mencintaiku. Tapi aku tidak bisa langsung percaya. Tidak kali ini.

“Reza,” kataku pelan. “Aku butuh waktu. Dan aku butuh kamu membuktikan kata-katamu. Karena saat ini, aku tidak tahu apakah aku masih bisa percaya padamu.”

Dia menatapku, dan aku bisa melihat rasa sakit di matanya. Tapi aku tidak peduli. Aku juga terluka. Lebih dari yang bisa dia bayangkan.

Lanjut Baca bab 5

Post a Comment for "Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 4"