Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 5
Malam-malam setelah konfrontasi itu menjadi mimpi buruk. Reza berusaha memperbaiki keadaan, mencoba mengajakku bicara, membuktikan bahwa dia telah mengakhiri semuanya dengan Alya.
Namun, kata-katanya terasa kosong. Hatiku masih penuh dengan keraguan, sementara pikiranku dipenuhi bayangan wanita itu. Aku tahu bahwa aku membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar janji. Aku butuh kebenaran.
Malam itu, setelah Reza tertidur, aku kembali membuka
ponselnya. Dia masih menggunakan pola kunci yang sama, seolah tidak peduli aku
mungkin mencurinya lagi. Kali ini aku memutuskan untuk menggali lebih dalam.
Aku memeriksa riwayat panggilan, pesan WhatsApp, dan bahkan media sosialnya.
Sejauh ini, aku tidak menemukan apa-apa yang mencurigakan. Mungkin dia sudah
membersihkan semuanya.
Namun, saat aku membuka folder arsip di aplikasi pesan, aku
menemukan percakapan yang telah diarsipkan. Percakapan itu dengan Alya.
Napasku memburu saat aku membaca pesan-pesan yang masih tersisa di sana.
“Aku nggak tahu kita harus gimana lagi,” tulis Alya.
“Kasih aku waktu, Alya. Aku nggak mau Nadira tahu,” balas
Reza.
Tanganku gemetar. Mereka sudah merencanakan untuk
menyembunyikan hubungan ini dariku. Hatiku terasa seperti diremas. Aku terus
membaca hingga menemukan pesan lain yang lebih menghancurkan.
“Kamu tahu aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Jangan pergi,”
tulis Alya.
“Aku nggak akan pergi. Aku cuma butuh waktu buat beresin
semuanya,” jawab Reza.
Waktu berhenti. Kata-kata itu adalah pengkhianatan yang
lebih dari sekadar fisik. Itu adalah emosi, cinta, dan komitmen yang seharusnya
menjadi milikku. Aku merasa tercekik di tempatku berdiri.
Aku menutup ponsel itu dan berjalan keluar kamar. Aku tidak
bisa bernapas. Dadaku terasa sesak. Aku butuh udara segar, tetapi udara dingin
malam tidak membantu. Aku hanya berdiri di depan rumah, menatap langit gelap.
Pikiran-pikiranku berputar liar. Apa yang aku lakukan? Apa yang harus aku
lakukan?
Lalu sebuah ide terlintas di benakku: jika aku ingin
benar-benar tahu, aku harus mendengar langsung dari Alya. Aku harus mencari
wanita itu dan menghadapi kenyataan, seburuk apa pun itu. Aku butuh jawaban
yang tidak akan diberikan Reza padaku.
Keesokan harinya, aku mengambil cuti dari pekerjaanku.
Dengan sedikit bantuan dari media sosial, aku berhasil menemukan informasi
tentang Alya. Dia tinggal di sebuah apartemen kecil di pusat kota. Aku tidak
tahu apa yang akan aku lakukan ketika bertemu dengannya, tetapi aku tahu aku
harus pergi.
Siang itu, aku mengetuk pintu apartemennya. Jantungku
berdebar kencang saat pintu terbuka. Wanita itu berdiri di depanku, tampak
bingung. Dia lebih muda dariku, cantik dengan cara yang sederhana. Aku bisa
melihat alasan mengapa Reza tertarik padanya.
“Kamu Alya, kan?” tanyaku.
Dia mengangguk, ragu-ragu. “Iya. Ada apa?”
“Aku Nadira. Istri Reza.”
Ekspresinya berubah seketika. Wajahnya memucat, dan aku bisa
melihat rasa bersalah terpancar dari matanya. “Aku… aku bisa jelaskan…”
Aku tidak memberinya kesempatan untuk berbicara. “Aku ingin
tahu semuanya. Berapa lama ini berlangsung? Apa yang sebenarnya terjadi antara
kalian?”
Dia mengundangku masuk. Ruang apartemennya kecil tetapi
rapi. Kami duduk di sofa, dan dia mulai bercerita. Apa yang kudengar membuatku
semakin hancur.
Menurut Alya, hubungan mereka dimulai sekitar enam bulan
yang lalu. Reza mendekatinya dengan alasan bahwa rumah tangga kami sedang
bermasalah. Dia merasa kesepian, katanya. Dan Alya, yang pada awalnya menolak,
akhirnya menyerah pada perasaan yang berkembang di antara mereka.
“Dia bilang dia akan meninggalkanmu,” kata Alya pelan. “Tapi
aku tahu dia masih mencintaimu. Aku nggak pernah mau merebut dia darimu,
Nadira. Aku hanya…”
Aku memotongnya. “Hanya apa? Kamu tahu dia sudah menikah.
Kamu tahu dia punya istri.”
Dia menunduk, tidak membalas. Kemarahanku membuncah, tetapi
di saat yang sama aku juga merasa iba. Alya adalah bagian dari masalah ini,
tetapi dia bukan akar dari semua ini. Reza-lah yang mengkhianati aku. Reza-lah
yang menghancurkan janji pernikahan kami.
Sebelum pergi, aku hanya mengatakan satu hal padanya.
“Hubungan kalian sudah selesai. Jangan hubungi dia lagi. Kalau kamu benar-benar
punya hati, kamu akan meninggalkan dia.”
Dia mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi aku tidak
peduli. Aku berjalan keluar dari apartemennya dengan perasaan yang bercampur
aduk. Aku merasa lega karena akhirnya tahu kebenaran, tetapi juga merasa hancur
karena kebenaran itu begitu menyakitkan.
Post a Comment for "Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 5"