Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 6


Nove Malam Yang Tak Pernah Pulang

Malam itu, aku duduk di kamar dengan pintu terkunci. Reza mengetuk-ngetuk dari luar, memohon untuk bicara, tetapi aku terlalu lelah untuk mendengar alasan atau janji-janji kosong lagi. Aku hanya ingin sendiri. Aku butuh waktu untuk menyusun pikiranku yang berantakan.

Di depanku ada sebuah cermin besar yang biasa kugunakan untuk berdandan. Aku menatap bayanganku di sana, tetapi wajah yang kulihat terasa asing. Mata yang lelah, wajah yang kusut, dan tubuh yang terasa lebih berat dari biasanya. Aku mencoba bertanya pada diriku sendiri: bagaimana aku sampai di titik ini? Bagaimana rumah tangga yang kubangun dengan cinta bisa berubah menjadi puing-puing seperti ini?

Pagi harinya, aku akhirnya keluar dari kamar. Reza sudah duduk di ruang makan, terlihat seperti pria yang tidak tidur semalaman. Ketika aku mendekat, dia menatapku dengan tatapan penuh harap. Aku ingin membencinya, tetapi ada sesuatu dalam diriku yang masih ingin memahami, masih ingin mendengar.

“Nadira, aku tahu aku salah,” katanya, suaranya pelan. “Aku nggak akan menyalahkan kamu kalau kamu benci aku. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Aku akan memperbaiki semuanya.”

Aku menatapnya, mencoba mencari kebenaran di balik matanya. “Apa maksudmu memperbaiki, Reza? Kamu pikir kata-kata itu cukup untuk menyembuhkan luka yang kamu buat?”

Dia menggeleng, terlihat bingung harus berkata apa. “Aku akan putus semua hubungan sama dia. Aku sudah selesai sama Alya. Aku sadar, aku cuma cinta sama kamu. Aku cuma… aku nggak tahu kenapa aku bisa sampai sejauh ini.”

Aku tertawa kecil, getir. “Kamu nggak tahu kenapa? Itu karena kamu memilih untuk mengkhianati aku, Reza. Kamu memilih untuk membohongi aku setiap malam, untuk menghabiskan waktu dengan wanita lain sementara aku menunggu di rumah. Itu bukan kecelakaan, itu pilihan.”

Reza terdiam. Aku bisa melihat rasa bersalah di wajahnya, tetapi itu tidak cukup. Bukan lagi.

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Reza mencoba menunjukkan usahanya untuk memperbaiki segalanya. Dia pulang tepat waktu, mematikan ponselnya saat di rumah, bahkan membantuku memasak—sesuatu yang jarang sekali ia lakukan sebelumnya. Dia menghapus kontak Alya di depan mataku, berjanji bahwa semuanya sudah selesai.

Tapi hatiku tidak bisa percaya. Tidak semudah itu. Setiap kali aku melihatnya, aku teringat pada malam di mana dia berjalan masuk ke hotel bersama wanita itu. Setiap kali dia menyentuhku, aku merasa canggung, seperti dia adalah orang asing yang baru saja aku kenal.

Malam itu, aku kembali ke cermin di kamarku. Aku memandang bayanganku, mencoba mencari jawabannya di sana. Aku mencintai Reza, itu pasti. Tapi aku juga mencintai diriku sendiri. Dan aku mulai bertanya-tanya, apakah tetap bersamanya adalah bentuk cinta pada diriku, atau justru kebalikannya?

Aku berpikir tentang semua pengorbanan yang telah kulakukan untuk pernikahan ini. Bagaimana aku selalu menempatkan Reza di atas segalanya, bagaimana aku mengesampingkan impian dan kebutuhanku sendiri demi menjadi istri yang baik. Tetapi apakah semua itu cukup? Apakah semua itu berarti baginya?

“Apa kamu bahagia, Nadira?” tanyaku pada bayanganku sendiri.

Bayangan itu tidak menjawab, tetapi matanya berbicara. Tidak, aku tidak bahagia. Tidak dengan rasa sakit yang terus kurasakan setiap hari. Tidak dengan kebohongan yang mengikatku seperti rantai.

Keesokan harinya, aku mengambil keputusan. Aku mengajak Reza duduk di ruang tamu, wajahnya langsung tegang ketika melihat ekspresi seriusku.

“Reza, aku butuh waktu untuk sendiri,” kataku akhirnya.

Dia terkejut. “Maksud kamu apa? Kita nggak bisa nyelesaikan ini kalau kamu pergi, Nadira.”

Aku menggeleng. “Aku nggak pergi. Aku cuma butuh ruang. Aku butuh waktu untuk berpikir. Kita butuh waktu untuk melihat apakah hubungan ini masih layak diperjuangkan.”

Dia terdiam, terlihat hancur. “Tapi aku bisa berubah, Nadira. Aku janji.”

“Aku tahu kamu bisa berubah, Reza. Tapi ini bukan hanya soal kamu. Ini soal aku juga. Aku butuh menemukan diriku sendiri lagi. Karena selama ini, aku merasa kehilangan diriku dalam hubungan ini.”

Aku bisa melihat air mata di matanya, dan itu membuatku ingin memeluknya, tetapi aku tahu aku harus tetap tegas. Jika aku terus mengalah, aku akan kehilangan diriku sepenuhnya.

Lanjut ke Bab 7

Post a Comment for "Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 6"