Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 10

Hari-hari setelah keputusanku untuk memberi jeda terasa aneh, seperti aku menjalani hidup di antara dua dunia. Di satu sisi, aku merasa lega. Aku akhirnya memiliki ruang untuk bernapas, untuk memikirkan apa yang benar-benar aku inginkan tanpa bayang-bayang Reza. Tapi di sisi lain, kesunyian ini terasa menusuk. Setiap sudut rumah mengingatkanku pada apa yang pernah kami miliki, dan apa yang kini sedang tergantung di ujung tali.

Reza mulai menjaga jarak, seperti yang kuminta. Dia tidur di kamar tamu sementara aku tetap di kamar utama. Dia tidak memaksakan obrolan, tetapi aku tahu dia sedang berusaha—membantu mencuci piring, menawarkan bantuan saat aku kesulitan dengan pekerjaan rumah, bahkan meninggalkan secangkir teh di meja saat aku lembur bekerja.

Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 10

Namun, setiap kebaikan kecil darinya justru membuatku semakin bingung. Apa yang sebenarnya aku rasakan? Apakah aku benar-benar ingin melepaskannya? Atau aku hanya takut kehilangan identitasku dalam pernikahan ini?

Suatu malam, aku memutuskan untuk mencurahkan perasaanku ke dalam tulisan. Aku menulis di buku catatan kecil, seperti yang sudah menjadi kebiasaanku belakangan ini.

Aku mencintai Reza. Tapi cinta itu penuh luka sekarang. Apakah aku bisa mempercayainya lagi? Apakah aku bisa mencintainya tanpa merasa seperti seorang wanita yang kalah?

Aku juga mencintai diriku sendiri. Aku tahu aku pantas mendapatkan lebih dari ini. Tapi melepaskan Reza berarti membiarkan bagian dari hidupku hilang selamanya.

Aku menutup buku itu dengan frustrasi. Tidak ada jawaban yang jelas. Tidak ada solusi yang mudah. Yang ada hanyalah rasa sakit yang terus menerus menghantui.

Beberapa hari kemudian, keluargaku datang berkunjung. Ibuku langsung tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dia menatapku dengan sorot mata tajam, seperti mencoba membaca pikiranku.

“Kamu kelihatan capek, Nadira,” katanya saat kami sedang duduk di ruang tamu.

“Aku baik-baik saja, Bu,” jawabku singkat, meskipun aku tahu itu terdengar tidak meyakinkan.

Dia tidak mendesak, tetapi aku bisa merasakan kekhawatirannya. Setelah mereka pulang, aku duduk sendirian di ruang tamu, merenungkan betapa aku telah berubah. Aku bukan lagi Nadira yang ceria, yang selalu punya jawaban untuk setiap masalah. Aku merasa seperti bayangan dari diriku sendiri.

Pada malam yang sama, Reza mengetuk pintu kamar utama. Aku membukanya, menatapnya tanpa berkata apa-apa. Wajahnya penuh dengan keletihan dan kesedihan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

“Nadira, aku tahu ini belum cukup lama,” katanya pelan. “Tapi aku ingin tahu… apa yang kamu pikirkan? Apa kita masih punya kesempatan?”

Aku menatapnya, mencoba mencari jawabannya di hatiku sendiri. “Aku belum tahu, Reza. Aku masih berusaha memahami semuanya. Ini bukan soal apa kamu pantas atau tidak. Ini soal aku… soal apakah aku bisa melanjutkan hidup dengan semua ini.”

Dia mengangguk, tampak menerima jawabanku. Tetapi aku bisa melihat bahwa dia hancur.

“Kamu tahu, Nadira,” katanya setelah beberapa saat. “Aku nggak pernah berhenti mencintai kamu. Aku tahu aku bodoh, aku tahu aku menghancurkan semuanya. Tapi aku benar-benar ingin memperbaikinya, kalau kamu masih memberi aku kesempatan.”

Aku ingin percaya padanya. Kata-katanya tulus, tetapi luka yang ia buat terlalu dalam untuk sembuh hanya dengan permintaan maaf.

Malam itu, aku kembali menulis di buku catatanku.

Reza mencintaiku. Aku tahu itu. Tapi cinta saja tidak cukup. Aku butuh rasa aman. Aku butuh kepercayaan. Dan aku butuh tahu bahwa aku tidak akan kehilangan diriku sendiri dalam hubungan ini.

Mungkin, hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaanku. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa terus menunda keputusan. Aku harus memilih: menggenggam atau melepaskan.

Hari-hari berikutnya terasa seperti ujian. Aku mencoba menjalani hidup seperti biasa, tetapi pikiranku selalu kembali pada Reza. Setiap kali dia tersenyum kecil padaku, aku merasa ada harapan. Tapi setiap kali aku mengingat malam-malam dia bersama Alya, rasa sakit itu kembali seperti pisau yang menusuk jantungku.

Aku tahu aku tidak bisa terus hidup dalam kebingungan ini. Aku harus membuat keputusan, meskipun itu akan menjadi keputusan paling sulit dalam hidupku.

Lanjut Bab 11

Post a Comment for "Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 10"