Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 11

Hari itu, aku duduk di teras rumah, memandangi bunga-bunga di taman kecil yang sudah lama tidak kurawat. Daun-daunnya menguning, beberapa kelopaknya gugur, tetapi akar-akarnya tetap kokoh. Rasanya seperti melihat pernikahanku sendiri—layu, tapi masih bertahan di tanah.

Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab


Aku tahu waktunya sudah tiba. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku tidak bisa membiarkan rasa sakit ini menguasai hidupku lebih lama. Aku harus membuat keputusan. Menggenggam apa yang tersisa, atau melepaskannya sepenuhnya.

Malam itu, aku mengajak Reza berbicara. Dia tampak tegang, tetapi juga sepertinya telah mempersiapkan diri untuk apa pun yang akan kukatakan. Kami duduk berhadapan di ruang tamu, hanya ditemani lampu redup yang menambah suasana melankolis.

“Reza,” kataku, memulai dengan suara pelan. “Aku ingin kamu mendengarkan aku baik-baik, tanpa menyela.”

Dia mengangguk pelan. “Aku akan dengar.”

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku sudah memikirkan ini selama berminggu-minggu. Aku mencoba memahami apa yang aku rasakan, apa yang kita alami, dan apa yang sebenarnya kita butuhkan.”

Aku berhenti sejenak, melihat dia menatapku dengan mata penuh harap. Aku tahu kata-kata berikutnya akan menentukan segalanya.

“Aku mencintaimu, Reza. Itu tidak pernah berubah. Tapi cinta itu sekarang berbeda. Ada luka yang terlalu dalam untuk sembuh dengan cepat, dan aku butuh waktu yang sangat lama untuk belajar mempercayaimu lagi.”

Dia menundukkan kepalanya, terlihat seperti pria yang menanggung beban dunia di pundaknya. “Aku mengerti,” katanya pelan. “Aku tahu aku sudah menghancurkan semuanya. Tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya, Nadira. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa berubah.”

“Aku tahu,” kataku. “Dan aku percaya kamu bisa berubah. Tapi bukan itu pertanyaannya, Reza. Pertanyaannya adalah, apakah aku bisa menerima perubahan itu? Apakah aku bisa hidup dengan luka ini, bahkan jika kamu berubah?”

Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Dan apa jawabanmu?”

Aku menggenggam tanganku sendiri di pangkuanku, mencoba menahan getaran di jari-jariku. “Jawabannya adalah… aku butuh waktu lebih lama. Aku ingin kita berpisah sementara. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tetapi karena aku perlu menemukan diriku sendiri lagi. Dan aku ingin kamu melakukan hal yang sama.”

Dia terlihat hancur, tetapi aku bisa melihat dia mencoba memahami. “Berpisah… sementara? Apa artinya itu, Nadira?”

“Artinya, aku ingin kita tinggal di tempat yang berbeda. Aku ingin melihat apakah aku masih bisa bahagia tanpa kamu. Dan aku ingin kamu melakukan hal yang sama. Jika pada akhirnya kita merasa masih bisa bersama, maka kita akan mulai lagi dari awal. Tetapi jika tidak… aku ingin kita melepaskan dengan baik.”

Malam itu adalah malam paling sulit dalam hidupku. Aku tahu keputusanku bukan sesuatu yang mudah untuk diterima, bahkan oleh diriku sendiri. Tetapi untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, aku merasa seperti aku mengendalikan hidupku sendiri.

Reza tidak memohon. Dia tidak mencoba membujukku untuk berubah pikiran. Sebaliknya, dia hanya mengangguk dan berkata, “Kalau itu yang kamu butuhkan, aku akan melakukannya. Karena aku ingin kamu bahagia, Nadira, apa pun yang terjadi.”

Kata-katanya membuat air mataku mengalir. Aku ingin memeluknya, ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, ini bukan waktunya untuk janji-janji yang belum pasti.

Beberapa hari kemudian, Reza mulai mengemasi barang-barangnya. Dia akan tinggal di apartemen temannya untuk sementara waktu. Rumah kami terasa semakin kosong setiap kali aku melihatnya mengangkat koper, tetapi aku tahu ini adalah langkah yang perlu diambil.

Saat dia akan pergi, dia berhenti di depan pintu dan menatapku. “Nadira, aku ingin kamu tahu satu hal,” katanya dengan suara berat. “Aku mencintaimu, dan aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Apa pun yang terjadi, aku ingin kamu bahagia.”

Aku tidak bisa menahan air mataku. “Aku juga mencintaimu, Reza. Aku hanya berharap cinta ini cukup untuk menyembuhkan kita.”

Dia tersenyum kecil, meskipun matanya basah. Lalu dia pergi, meninggalkan rumah yang kini terasa terlalu besar dan kosong.

Malam itu, aku duduk di ruang tamu, memandangi bayangan gelap di dinding. Aku merasa kehilangan, tetapi untuk pertama kalinya, aku juga merasa bebas. Aku tahu jalan ini tidak akan mudah, tetapi aku percaya bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk kami berdua

Post a Comment for "Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 11"