Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 12
Sudah sebulan sejak Reza meninggalkan rumah. Awalnya, keheningan itu membunuhku. Aku tidak terbiasa bangun tanpa mendengar langkahnya di pagi hari atau menikmati secangkir teh yang sering ia buatkan tanpa diminta. Namun, seiring waktu, aku mulai menemukan ritme baru dalam hidupku. Rumah ini terasa kosong, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidak merasa terjebak.
Aku mulai mengisi hari-hariku dengan hal-hal yang sebelumnya
aku abaikan. Aku mendaftar kelas menulis yang sudah lama ingin kuikuti, bertemu
teman-teman lama, dan bahkan mencoba hobi baru: melukis. Aku tidak tahu apakah
aku benar-benar berbakat, tetapi rasanya menyenangkan mencurahkan perasaan ke
atas kanvas, meskipun hasilnya jauh dari sempurna.
Yang paling penting, aku mulai menulis kembali. Aku
menuliskan semuanya—rasa sakit, kebingungan, dan pertanyaan yang terus
menghantui pikiranku. Dalam proses itu, aku menemukan sesuatu yang mengejutkan:
aku mulai memahami diriku lebih baik. Aku mulai menerima bahwa aku adalah
seorang wanita yang pernah terluka, tetapi juga seseorang yang mampu bangkit.
Beberapa minggu setelah Reza pergi, aku menerima pesan
darinya. Isinya sederhana:
“Nadira, aku harap kamu baik-baik saja. Aku hanya ingin
kamu tahu bahwa aku masih berusaha menjadi pria yang lebih baik. Untuk diriku
sendiri, dan untuk kamu—jika kamu masih menginginkanku nanti.”
Pesan itu membuat air mataku mengalir, tetapi bukan karena
rasa sakit. Untuk pertama kalinya, aku merasakan harapan kecil, bahwa mungkin
perubahan itu nyata. Namun, aku tahu aku tidak boleh terburu-buru. Aku harus
tetap berjalan di jalanku sendiri sebelum memutuskan apakah aku ingin kembali
ke jalur yang sama dengannya.
Suatu sore, aku duduk di teras rumah dengan secangkir teh
hangat di tanganku. Matahari hampir tenggelam, langit berwarna jingga keemasan
yang begitu indah. Aku teringat pada senja yang dulu menjadi favoritku dan
Reza. Aku tersenyum kecil, menyadari bahwa meskipun aku merindukan masa-masa
itu, aku tidak lagi merasa terikat oleh bayangan mereka.
Aku telah belajar bahwa cinta bukanlah tentang menggenggam
terlalu erat, tetapi tentang memberi ruang untuk bertumbuh. Kadang, cinta
membutuhkan jeda, dan kadang, cinta harus dilepaskan untuk menemukan maknanya
yang sebenarnya.
Beberapa hari kemudian, aku menerima telepon dari Reza.
Suaranya terdengar hati-hati, tetapi ada ketulusan di baliknya.
“Nadira, aku tahu aku nggak berhak meminta ini,” katanya.
“Tapi aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin tahu bagaimana kamu, dan kalau kamu
bersedia, aku ingin bicara tentang kita.”
Aku terdiam sejenak, merenungkan permintaannya. Sebulan yang
lalu, aku mungkin akan menolak. Tetapi sekarang, setelah semua refleksi yang
kulakukan, aku merasa siap.
“Baiklah,” jawabku akhirnya. “Kita bisa bertemu.”
Kami sepakat bertemu di sebuah kafe kecil di dekat rumahku.
Ketika aku tiba, Reza sudah ada di sana, menungguku. Dia tampak berbeda—lebih
tenang, lebih dewasa. Ketika dia melihatku, dia tersenyum, tetapi ada
kerendahan hati di balik senyum itu.
“Terima kasih sudah datang,” katanya pelan.
Aku mengangguk. “Aku juga ingin bertemu.”
Kami menghabiskan beberapa jam berbicara. Reza menceritakan
apa yang telah ia lakukan selama sebulan terakhir—bagaimana ia mulai menemui
konselor untuk memahami dirinya sendiri, bagaimana ia mencoba memperbaiki
hubungannya dengan keluarganya, dan bagaimana ia belajar menghadapi rasa
bersalahnya.
“Aku sadar bahwa aku terlalu egois selama ini,” katanya.
“Aku selalu berpikir tentang apa yang aku butuhkan, tanpa memikirkan apa yang
kamu rasakan. Dan aku minta maaf untuk itu.”
Kata-katanya membuat hatiku hangat, tetapi aku tahu itu
belum cukup untuk membuat keputusan. “Aku senang kamu berubah, Reza,” jawabku
pelan. “Tapi perubahan ini harus untuk dirimu sendiri, bukan untukku. Aku juga
butuh waktu untuk memastikan apa yang benar-benar aku inginkan.”
Dia mengangguk. “Aku mengerti. Aku nggak mau memaksakan apa
pun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu, dan aku akan
menunggumu, apa pun yang kamu putuskan.”
Malam itu, aku pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk.
Aku merasa ada harapan, tetapi aku juga tahu bahwa perjalanan ini belum
selesai. Aku perlu memastikan bahwa keputusan yang aku buat adalah keputusan
yang terbaik untukku, bukan hanya karena rasa cinta atau nostalgia.
Aku berdiri di depan cermin di kamarku, menatap bayanganku
sendiri. Untuk pertama kalinya, aku tidak melihat seorang wanita yang lemah
atau rapuh. Aku melihat seorang wanita yang telah melalui badai dan masih
berdiri tegak.
Epilog:
Beberapa bulan kemudian, aku akhirnya membuat keputusan. Aku
bertemu Reza lagi, kali ini dengan kejelasan di hatiku. Aku tahu bahwa hubungan
kami tidak akan pernah sama seperti dulu, tetapi aku juga tahu bahwa cinta kami
layak diberi kesempatan kedua.
“Kita mulai dari awal,” kataku kepadanya. “Bukan sebagai
suami-istri, tetapi sebagai dua orang yang saling mengenal lagi. Kalau kita
bisa melewati ini bersama, mungkin kita punya kesempatan.”
Dia tersenyum, dan untuk pertama kalinya, aku melihat
harapan di matanya.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi
satu hal yang pasti: aku tidak lagi hidup dalam bayang-bayang. Aku telah
menemukan diriku sendiri, dan apa pun yang terjadi, aku tahu aku akan baik-baik
saja.
Selesai, Novel Malam Yang Tak Pernah Pulang di tulis oleh Tim Janoopedia.com. Terdiri dari 12 Bab. Novel ini memberi inspirasi kepada pembaca. Terima kasih telah membaca novel kami.
Post a Comment for "Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 12"